Tuesday, January 29, 2013

ISTIHSAN ,ISTISHLAH DAN MASLAHAT MURSALAH SEBAGAI SUATU METODE ISTIMBAT HUKUM



ISTIHSAN ,ISTISHLAH DAN MASLAHAT MURSALAH
SEBAGAI SUATU METODE ISTIMBAT HUKUM

A. PENGERTIAN ISTIHSAN
            Istihsan  menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut istilah ulama’ ushul fiqh,, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara’, menuju ( menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil syara’ yang terakhir disebut sandaran istihsan.
            Sebagaimana disebutkan Al-Syatibi mengakui kaidah istihsan menurut Imam Malik berdasarkan kepada teori mengutamakan realisasi tujuan syari’at. ( Al-Syatibi dalam Iskandar Usman; 1994; 20). Hal itu menunjukkan bahwa istihsan sebagaimana akan terlihat dari definisi yang diberikan oleh golongan Malikiyyah, dasarnya adalah mengutamakan tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan-kemaslahatan atau menolak bahaya-bahaya secara khusus sebab dalil umum menghendaki dicegahnya bahaya itu, karena kalau  tetap dipertahankan asal dalil umum maka akan mengakibatkan tidak tercapainya maslahat yang dikehendaki oleh dalil umum itu.padahal tujuan itu harus terlaksana  seoptimal mungkin.
            Dalil umum melarang melihat aurat seseorang , akan tetapi bila dalil umum ini tetap diperlakukan sampai melarang melihat aurat seseorang dalam pengobatan, maka hal itu akan mengakibatkan hilangnya maslahat yang ingin diwujudkan oleh dalil itu, karena dalil umum itu ingin memelihara kemaslahatan tahshiniyyat  ( pelengkap).yakni kemaslahatan-kemaslahatan manusia dalam hidup yang terdiri  atas dloruriyyat ( pokok), hajjiyyat ( kebutuhan ), dan tahshiniyyat ( pelengkap). Larangan dalam melihat dalam pengobatan menghilangkan kemaslahatan yang pokok ( dloruriyyat), karena dengan tidak mengadakan pengobatan akan mengakibatkan kematian atau hilangnya salah satu anggota badan atau hilang manfaatnya. Dasar memelihara jiwa adalah pokok, sedangkan memelihara pandangan adalah pelengkap bagi yang pokok, maka pelengkap itu tidak perlu dipertahankan.
            Dalil umum juga  yang melarang ketidakpastian ( al-gharar) dalam jual beli dan dalam mu’amalah-mu’amalah lain, bila dalil itu diperlakukan secara umum tanpa memandang apa yang dikehendakinya, lantas kita melarang al-gharar secara keseluruhan, maka hal itu akan mengakibatkan tidak tercapainya maslahat yang dikehendaki oleh dalil umum itu. Padahal memelihara tujuan dalil itu adalah wajib. Hukum ashal jual beli adalah pokok, sedangkan larangan ghoror adalah pelengkap. Kalau disyaratkan tidak boleh ada al-gharar secara keseluruhan maka akan tertutuplah pintu jual beli. Padahal  jual beli itu masalah yang paling pokok.
            Dalil  yang memerintahkan menegakkan shalat dengan keumumannya menujukkan wajib disempurnakan rukun-rukun dan syarat-syaratnya dalam setiap keadaan. Apabila dalil umum itu tetap dipertahankan tanpa memperhatikan tujuan pelaksanaan  shalat itu pada keadaan  orang sakit yang tidak mampu melaksanakan rukun-rukun dan syarat-syaratnya secara sempurna, maka akan mengakibatkan luputnya maslahat yang ingin diwujudkan dengan dalil umum itu. Shalat adalah pokok, sedangkan menyempurnakan rukun-rukun adalah pelengkap bagi yang pokok itu. Apabila perintah menyempurnakan rukun-rukun itu dapat mengakibatkan  tidak terlaksananya shalat atau terlaksananya shalat dalam keadaan  yang sangat sukar, maka pelengkap itu tidak perlu diperhatikan. Dan orang “lemah” boleh shalat dengan cara yang mudah dilakukannya sejauh dibolehkan oleh rukhshoh  (keringanan) dalam rangka memelihara dasar maslahat yang pokok.
            Contoh-contoh lain dalam istihsan madzhab Maliki seperti mengharamkan benda-benda najis  untuk  menjaga kehormatan dan wibawa serta memelihara adat kebiasaan yang baik. Maka kesimpulannya istihsan di sini adalah berpegang pada kemaslahatan khusus dalam berhadapan dengan dalil umum (kully) . maksudnya adalah mendahulukan maslahat  dari pada qiyas. Jadi istihsan dalam ushul fiqh Maliki adalah istihsan  yang merupakan pengecualian dari dalil umum, sedangkan istihsan dengan qiyas khafi  tidak dikenal dalam ushul fiqh maliki.  Dengan demikian istihsan bukanlah berarti menetapkan hukum sesuai dengan kehendak syara’ yang diketahui secara utuh dalam contoh-contoh ketetapan syara’. Seperti masalah-masalah  yang oleh qiyas dikehendaki suatu hukum, akan tetapi bila masalah  itu ditetapkan hukumnya  dengan qiyas akan mengakibatkan lenyapnya maslahat dari sudut lain atau mengakibatkan timbulnya kerusakan. Hal ini banyak terjadi pada hukum ashal yang dloruriyyat  dengan hajjiyyat  dan hajjiyyat  dengan tahshiniyyat . memperlakukan qiyas secara mutlak dalam masalah  dloruriyyat  mengakibatkan timbulnya kesulitan dan kesukaran pada beberapa masalah, maka dalam hal-hal yang menimbulkan kesukaran tidak diterapkan qiyas, demikian juga hajjiyyat dan tahshiniyyat .
            Untuk lebih jelasnya tentang pengertian istihsan , maka berikut ini akan dikemukakan beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama’ Maliki sbb:
a)    Menurut Ibnu Al- ‘Arabi, istihsan adalah meninggalkan kehendak dalil dengan cara pengecualian atau memberikan  rukhshoh  karena berbeda hukumnya dalam beberapa hal
b)    Gol. Hanafiyyah, istihsan adalah  beramal dengan salah satu dari dua dalil  yang paling kuat, berpegang kepada dalil umum apabila dalil itu bias terus berlaku dan  berpegang kepada qiyas  itu berlaku umum
c)    Al-syafi’I, istihsan adalah menetapkan  hukum syara’ berdasarkan hawa nafsu . siapa yang berhujjah  dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsunya , sedang yang berhak menetapkan hukum syara’ hanyalah Allah SWT. Dalam buku risalah ushuliyyah  disebutkan : “ perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Kiblat / Ka’bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara’ untuk menentukan arah Ka’bah itu. 
Perbedaanya istihsan dengan qiyas adalah: pada qiyas ada dua peristiwa sedangkan pada istihsan hanya ada satu peristiwa

B. MACAM-MACAM ISTIHSAN
1)    Istihsan dengan maslahat.  Menurut madzhab Hanafi, bila seorang mewakafkan sebidang tanah pertanian, maka termasuk yang diwakafkannya adalah hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dsb. Yang penting dapat dimanfaatkan tanah wakaf tersebut
2)    Istihsan dengan urf, Sisa minuman burung buas, seperti sisa burung elang, burung gagak dsb adalah suci dan halal diminum. Menurut qiyas jaly sisa minuman binatang buas , seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ketempat minuman. Menurut qiyas khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang  buas. Berdasarkan keadaan inilah ditetapkan perpindahandari qiyas jali ke qiyas khafi disebut istihsan

C. KEHUJJAHAN ISTIHSAN
            Sebagaimana dijelaskan, fikih Maliki merupakan fikih yang sangat memperhatikan kaidah-kaidah umum  dan dasar-dasar yang universal. Karena itu ditetapkan kehujjahannya sbb:
1)     Kaidah istihsan  dalam hubungannya dengan dalil fikih merupakan suatu kaidah yang  qath’i  yang diambil pengertiannya dari sejumlah dalil nas yang saling dukung-mendukung kepada suatu pengertian yang memberi faedah  qath’I, oleh karena itu kaidah istihsan  merupakan kaidah umum yang ditarik secara induksi pada tingkat umum yang ditarik dari lafadz  itu, diterapkan kepada setiap peristiwa yang ada relevansinya dan ditetapkan hukumnya dengan memasukkannya ke dalam kategori obyek yang umum itu, jika peristiwa itu merupakan masalah khusus
2)    Dalil-dalil syara’ yang secara kolektif memberi faedah qath’I  yang dijadikan sebagai kaidah istihsan yang idbenarkan oleh al-syar’i. contoh-contoh serupa itu menurut Al-Syatibi, banyak terdapat  di dalam Islam. Seperti berutang ( meminjam uang), pada dasarnya adalah riba, karena utang itu adalah menukar uang dengan uang sampai ajal ( tempo) yang disepakati bersama. Tetapi pinjaman itu dibolehkan karena bermanfaat dandapat membantu orang yang membutuhkan. Kalau pinjam-meminjam itu tetap dilarang sesuai dengan hokum dasarnya, hal itu menyusahkan umat manusia dan dengan hokum dasarnya, hal itu menyusahkan umat manusia dan menghalangi asas tolong menolong dengan cara ini. Demikian juga jamak shalat magrib dengan Isyak karena ada masyaqqat ( kesukaran ) dalam perjalanan musafir

D. HUBUNGAN ISTIHSAN DENGAN ISTISHLAH

            Istislah adalah suatu cara penetapan hukum terhadap masalah yang tidak dijelaskan  hukumnya oleh nas dan ijmak dengan mendasarkan pada pemeliharaan al-maslahat al-mursalat . Al-maslahat al-mursalat  adalah maslahat yang tidak disebutkan dengan nas tertentu akan tetapi sejalan dengan kehendak syara’. Secara definitive ,  al-maslahat al-mursalat dapat diartikan dengan sesuatu yang tidak ada dalil khusus yang mengakui dan tidak pula yang membatalkannya, namun keras dugaan apabila ia diterapkan akan dapat memelihara kebutuhan-kebutuhan pokok seperti memelihara agama, jiwa keturunan, akal dan harta, dan dapat menghilangkan kesulitan.
Sebagian ulama’ ada yang berpendapat bahwa maslahat mursalat ialah kemaslahatanyang tidak disinggung oleh syara’ dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan. Maslahat mursalat di sini disebut juga maslahat mutlak, karena tidak ada dalil yang mengakui kesahan atau kebatalannya. Jadi pembentukan hukum dengan cara maslahat mursalah semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan arti untuk mendatangkan manfaat dan menolak kemudlorotan dan kerusakan bagi manusia. Oleh karena  memelihara kebutuhan-kebutuhan pokok dan menghindarkan kesempitan itu menjadi tujuan syari’at, maka al-maslahat al-mursalat  termasuk tujuan syariat secara umum. Setiap yang dapat memelihara dan mewujudkan  tujuan tersebut dapat dilakukan sejauh tidak bertentangan dengan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an. Hukum yang dite dengan  istislah adalah seperti  pembukuan Al-Qur’an dalam satu mushaf yang dilakukan oleh Usman ibn Affan, khalifah ketiga.hal itu tidak dijelaskan oleh nas dan ijmak, melainkan didasarkan atas maslahat yang sejalan dengan kehendak syarak untuk mencegah kemungkinan timbulnya perselisihan umat tentang Al-Qur’an.
Dasar Hukum maslahat mursalah adalah:
a)    Persoalan yang dihadapi manusia selalu  berkembang , demikian pula kepentingan hidupnya
b)    Sebenarnya para sahabat , tabi’in , tabi’ut-tabi’in dan para ulama’ yang dating sesudahnya telah melaksanakannya sehingga mereka dapat segera menetapkan hokum sesuai dengan kemaslahatan kaum muslimin pada masa itu. Missal Abu Bakar telah mengumpulkan Al-Qur’an, Umar telah  menetapkan talak yang dijatuhkan tiga kali sekaligus jatuh tiga, padahal pad amasa Rasul hanya jatuhsatu, khalifah Usman telah memerintahkan penulisan Al-Qur’an dalam satu  mushaf dan khalifah Ali telah menghukum baker hidup golonganSyi’ah Radidhah yang memberontak, kemudian diikuti para ulama’ yangdatang sesudahnya.
Obyek maslahat mursalat yaitu hokum dalam bidang mu’amalat dan semacamnya, sedang dalam soal-soal ibadah adalah hakAllah untuk menetapkan hukumnya, karena manusia tidak sanggup mengetahui dengan lengkap hikmat ibadat.
            Perbedaan istihsan dengan istislah adalah bahwa istihsan berarti beramal dengan maslahat  ketika berhadapan dengan dalil umum atau qiyas, sedangkan pada istislah tidak ada dalil umum atau qiyas yang dikecualikan dengan maslahat. Artinya , kalau istihsan berarti ada dalil- yaitu dalil umum atau qiyas-yang dikecualikan dengan maslahat, sedangkan pada istislah tidak ada dalil yang dikecualikan dengan maslahat,  akan tetapi bersifat mutlak
            Dari uraian di atas jelaslah bahwa istihsan dan istislah, merupakan cara-cara istimbat hukum yang berdiri sendiri yang kedua-duanya ditemui dalam ushul fiqh Maliki, tetapi bila diperhatikan macam-macam istihsan sebagaimana yang telah dijelaskan  tersebut di atas ,maka dapat disimpulkan bahwa istihsan lebih umum daripada  istislah, karena almaslahat-mursalah satu macam dari dasar istihsan. Sebab istihsan selain beramal dengan al-maslahat mursalat jug aberamal dengan ijmak, urf , sedangkan istihsan hanya didasarkan kepada almaslahat almursalat saja.

PERIODISASI USHUL FIQH DAN SUMBER HUKUM ISLAM YANG DISEPAKATI JUMHUR ULAMA’



PERIODISASI USHUL FIQH
DAN SUMBER HUKUM ISLAM YANG DISEPAKATI JUMHUR ULAMA’

A. Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh
            Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa ilmu ushul fiqh, adalah kaidah-kaidah yang digunakan dalam usaha untuk memperoleh hukum-hukum syara’ tentang perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci, dan usaha untuk memperoleh hukum-hukum tersebut, antara lain dilakukan dengan jalan ijtihad.
            Di antara pereodisasi sumber hukum Islam adalah :
1)    Masa Rasulullah SAW, sumber hukum Islam  yang digunakan hanyalah Al-Qur’an dan As-sunnah ( Al-Hadis). Pada masa itu  kita temui di antara sunnah-sunnahnya ada yang memberi kesan bahwa beliau melakukan ijtihad , misalnya: beliau melakukan qiyas terhadap peristiwa yang dialami oleh Umar bin khattab ra, sbb :
صَنَعْتُ الْيَوْمَ ياَ رَ سُوْلَ اللَّهِ أَمْراً عَظِيْماً قَبَّلْتُ وَ أَناَ صاَ ءِـمٌ, فَقاَلَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلّىَ اللَّهُ عَلَيْهِ
وَ سَلَّمَ أَ رَ أَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ بِماَءٍ وَ أَ نْتَ صاَ ءِـمٌ ,فَقُـلْتُ لاَ بَأْسَ بِذَلِكَ فَقاَلَ رَسُوْلُ اللَّهِ
صَلىَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : فَـصُمْ.

      Wahai Rasulullah , hari ini saya telah memperbuat suatu perkara yang besar, saya mencium isteri saya, padahal saya sedang berpuasa. Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya: Bagaimana pendapatmu, seandainya kamu berkumur-kumur dengan air di kala kamu sedang berpuasa ? lalu saya menjawab: tidak apa-apa dengan yang demikian itu. Kemudian Rasul saw bersabda: Maka tetaplah kamu berpuasa .

Juga seperti hadis Rasulullah saw berikut ini :
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلىَ أُمَّتىِ لَأَمَرْتَهُمْ باِ السِّواَكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ ( رواه أ بو داود عن زيد بن خالد الجهينى)
Seandainya tidak akan memberatkan terhadap umatku, niscaya kuperintahkan kepada mereka bersiwak ( bersikat gigi) sertiap akan melakukan shalat ( HR Abu dawud dari Zaed bin Khalid Al-Juhanny)
Diterangkan oleh Muhammad Ali As-Sayis, bahwa hadis tersebut menunjukkan kepada kita adanya pilihan Rasulullah saw terhadap salah satu urusan, karena untuk menjaga kemaslahatan umatnya. Seandainya beliau tidak diperbolehkan melakukan ijtihad, hal itu tidak akan terjadi.

2)    Masa sahabat ; pada masa ini , dari penelitian sebagian para ulama’ terhadap berbagai peristiwa hidup Rasulullah, berkesimpulan bahwa  beliau biasa melakukan ijtihad dan memberi fatwa berdasarkan pendapatnya pribadi tanpa wahyu, terutama dalam hal-hal yang tidak berhubungan langsung dengan persoalan hukum. Kesimpulan tersebut , sesuai dengan sabda beliau :
اِنّىِ اِنَّماَ أَقْضِىْ بَيْنَكُمْ بِرأْيِى فِيْمَا لَمْ يُنْزَلْ عَلَيّىَ فِيْهِ
      Sugguh saya memberi keputusan di antara kamu tidak lain dengan pendapatku dalam hal tidak diturunkan wahyu kepadaku (HR Abu dawud dari Ummi Salamah).

Rasulullah sebagai seorang manusia  juga sebagaimana manusia biasa pada umumnya-maka hasil ijtihadnya bisa benar dan bisa salah, sebagaimana diterangkan dalam sebuah riwayat, beliau bersabda :
اِنَّماَ أَناَ بشَرٌ فَماَ حَدَثْتُكُمْ عَنِ اللَّهِ فَهُوَ حَقٌّ, وَماَ قُلْتُ فِيْهِ مِنْ قِبَلِ نَفْسِى فَاِ نَّماَ أَنا
َ بَشَرٌ أُخْطِىءُ وَ أُصِيْبُ

Saya tidak lain adalah seorang manusia juga, maka segala yang saya katakan kepadamu yang berasal dari Allah adalah benar, dan segala yang saya katakan dari diri saya sendiri, karena tidak lain saya juga manusia, bisa salah bisa benar. ( Ijtihad Rasul, hal;52-53)

Jadi sumber hukum yang dipakai pada masa sahabat adalah Al-Qur’an, As-sunnah/hadis, dan ijtihad Rasul sekalipun belum dibukukan. Hanya saja jika hasil  ijtihad beliau salah, Allah menurunkan wahyu yang tidak membenarkan hasil ijtihad beliau dan menunjukkan kepada yang benar. Sebagai contoh hasil ijtihad beliau tentang tindakan yang diambil terhadap tawanan perang Badar. Dalam hal ini beliau menanyakan terlebih dahulu kepada para sahabatnya. Menurut Abu Bakar agar mereka ( para tawanan perang Badar) dibebaskan dengan membayar tebusan. Sedangkan menurut Umar bin Khattab, mereka harus dibunuh, karena mereka telah mendustakan dan mengusir Rasulullah saw dari Makkah.dari dua pedapat tersebut, beliau memilih pendapat Abu Bakar. Kemudian turun ayat Al-Qur’an yang tidak membenarkan pilihan beliau tersebut dan menunjukkan kepada yang benar , yakni: QS.Al-Anfal;67 yang artinya : tidak patut seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi.kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat ( untukmu). Dan Allah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana .
      Jika terhadap hasil ijtihad Rasulullah saw tersebut, tidak diturunkan wahyu yang tidak membenarkan dan menunjukkan kepada yang benar berarti hasil ijtihad beliau itu benar, dan sudah barang tentu termasuk ke dalam kandungan pengertian As-Sunnah (Al-hadis)
3)    Masa tabi’in .Tabi’in ( pengikut sahabat Nabi).  sumber hukum Islam yang disepakati dan dipakai rujukan waktu itu adalah Al-Qur’an , Hadis, dalil-daliI ijtihad ( yang pembukuannnya oleh Malik Al-Muwattok) , Imam Syafi’i (Al-Umm) dan pada waktu itu definisi fiqh berbeda-beda sesuai dengan keinginan mujtahid fiqh waktu itu ( tentunya tetap sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadis).
Kegiatan ijtihad waktu itu bukan saja dilakukan oleh beliau sendiri, melainkan beliau juga memberi ijin kepada para sahabatnya untuk melakukan ijtihad dalam memutuskan suatu perkara atau dalam menghadapi suatu persoalan yang belum ada ketentuan hukumnya  dalam Al-Qur’an dan As-sunnah, sebagaimana yang terjadi ketika beliau mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman, yang diterangkan dalam hadis sebagai berikut:
كَيْفَ تَقْضِي اِذاَ عَرَضَ لَكَ قَضاَءٌ ؟ قاَلَ : أَقْضِي بِكِتاَبِ اللَّهِ, قاَ لَ: فاَ ِنْ لَمْ تَجِدْ
 فىِ كِتاَبِ اللَّهِ ؟ قاَلَ : فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلىَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ , قاَلَ: فاَ ِنْ لَمْ تَجِدْ فىِ سُنَّةِ
 رَسُوْلِ اللَّهِ صَلىَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَلاَ فىِ كِتاَبِ اللَّهِ  ؟ , قاَلَ:  : أَ جْتَهِدُ رَأْيِى وَلآ أَلُواْ فَضَرَبَ
رَسُوْلِ اللَّهِ صَلىَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ  صَدْرَهُ وَ قاَلَ : الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلىَّ اللَّهُ
عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ   لِماَ يَرْضىَ رَسُوْلِ اللَّهِ  ( رواه أ بو داود)

Rasulullah saw bertanya: bagaimana cara kamu memutusi jika datang kepadamu suatu perkara? Ia menjawab : saya putusi dengan (hukum) yang terdapat dalam kitab Allah. Beliau bertanya lagi. Jika tidak kamu dapati (hokum itu) dalam kitab Allah? Ia menjawab: maka dengan sunnah Rasulullah saw. Beliau bertanya: jika tidak kamu dapati dalam sunnah Rasulullah saw juga dalam Kitab Allah? Ia menjawab: saya akan berijtihad dengan pikiran dan saya tidak  akan lengah.Kemudian Rasul saw menepuk dadanya dan bersabda: segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah saw yang diridlai oleh Rasululah . (HR Abu Daud)

Bahkan beliau pernah memerintahkan Amr bin ‘Ash untuk memberi keputusan terhadap suatu perkara, padahal beliau di hadapannya. Atas perintah itu, lalu Amr bertanya kepada beliau seperti berikut ini:
أَاَجْتَهِدُ وَ أَنْتَ حاَ ضِرٌ ؟ قاَلَ : نَعَمْ, اِنْ أَصَبْتَ فَلَكَ أَجْراَنِ, وَ اِنْ أَخْطَأْتَ فَلَكَ أَجْرٌ
      Apakah saya berijtihad, sedangkan anda di sini? Beliau menjawab: Ya, jika kamu benar maka kamu mendapat dua pahala dan jika kamu salah maka kamu mendapat satu pahala .

     Sebagai contoh ijtihad yang dilakukan oleh sahabat , yakni ijtihad yang dilakukan oleh Ammar bin Yasir,sebagai berikut:saya telah berjunub dan tidak mendapatkan air. Maka saya berguling-guling pada debu kemudian saya mengerjakan shalat.lalu hal itu saya sampaikan kepada Nabi saw. Maka  beliau bersabda: sesungguhnya cukup kamu melakukan begini: Nabi menepuk tanah dengan dua telapak tangannya kemudian meniupnya, lalu menyapukannya ke wajahnya dan dua telapak tangannya. (HR.Bukhari dan Muslim)
            Pada hadis di atas , Ammar bin Yasir mengqiyaskan debu dengan air untuk mandi dalam menghilangkan junubnya, sehingga ia dalam menghilangkan junub karena tidak mendapatkan air itu, dilakukan dengan berguling-guling di atas debu. Namun hasil ijtihadnya ini tidak dibenarkan oleh Rasulullah saw.
           Hasil ijtihad para sahabat tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum atau tidak mempunyai kekuatan yang dapat dipedomani oleh kaum muslimin, kecuali jika hasil ijtihadnya telah mendapat pengesahan atau pengakuan dari Rasul saw dan tidak diturunkan wahyu yang tidak membenarkannya
            Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ijtihad baik yang dilakukan oleh Rasul saw maupun oleh para sahabatnya pada masa ini tidak merupakan sumber hukum, karena keberadaan atau berlakunya hasil ijtihad kembali kepada wahyu, akan tetapi dengan adanya kegiatan ijtihad yang terjadi pada masa ini, mempunyai hikmah yang besar, karena hal itu merupakan petunjuk bagi para sahabat dan para ulama dari generasi selanjutnya untuk berijtihad pada masa-masanya dalam menghadapi berbagai persoalan baru yang tidak terjadi pada masa Rasul saw atau yang tidak didapati ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an dan as-sunnah.
        

Friday, January 25, 2013

konsep ushul fiqih

KONSEP USHUL FIQH
A. Pengertian Ushul Fiqh sebagai Istimbat Hukum Islam Pengertian ushul fiqh dapat dilihat sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu : kata ushul dan kata fiqh ; dan dapat dilihat pula sebagai nama satu bidang ilmu dan ilmu-ilmu syari’ah. Dilihat dari tata bahasa Arab , rangkaian kata ushul dan kata fiqh tersebut dinamakan dengan tarkib idlafah, sehingga dari rangkaian dua buah kata itu memberi pengertian ushul bagi fiqh. Kata ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl yang menurut bahasa berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain. Berdasarkan pengertian ushul menurut bahasa tersebut, maka ushul fiqh berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fiqh. Sedangkan menurut istilah, ashl dapat berarti dalil, seperti dalam ungkapan yang dicontohkan oleh Abu Hamid Hakim berikut ini:
 أَ صْلُ وُ جُوْبِ الزَّ كاَةِ الْكِتَابُ أي الدَّ لِيْلُ عَلىَ وُجُوْ بِهاَ. الكِتاَبُ : قاَلَ اللَّهُ تَعاَلىَ.......... وَأ تُوا الزَّكاَةَ...

Ashl bagi diwajibkan zakat, yaitu Al-Kitab; Allah ta’ala berfirman :…dan tunaikanlah zakat. Dan dapat pula berarti kaidah kulliyyah, yaitu aturan/ketentuan umum, seperti dalam ungkapan sebagai berikut : Kebolehan makan bangkai karena terpaksa adalah penyimpangan dari ashl, yakni dari aturan / ketentuan umum, yaitu setiap bangkai adalah haram: Allah ta’ala berfirman :”diharamkan bagimu ( memakan) bangkai …” Dengan melihat pengertian ashl menurut istilah di atas, dapat diketahui bahwa ushul fiqh sebagai rangkaian dari dua kata, berarti dalil-dalil bagi fiqh dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi fiqh. Fiqh itu sendiri menurut bahasa berarti faham atau tahu . sedangkan menurut istilah sebagaimana dikemukakan oleh sayyid Al-Jurjany , pengertian fiqh yaitu:

العِلْمُ باِ الاَ حْكاَمِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ مِنْ أَدِ لَّتِهاَ التَّفّْصِيْلِـيََّةِ

Ilmu tentang hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dengan dalil-dalilnya yang terperinci. Yang dimaksud dengan dalil-dalilnya yang terperinci ialah bahwa satu persatu dalil menunjuk kepada suatu hukum tertentu seperti firman Allah menunjukkan kepada kewajiban shalat:
 ... وَ أَ قِيْمُوْا الصَّلاَةَ ...
Atau seperti sabda Rasulullah saw berikut ini:
 اِنَّ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الخَمْرِ ( رواه البخارى و مسلم عن جا بر بن عبد الله)
Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamr ( benda-benda yang memabukkan) HR Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah Hadis tersebut menunjukkan kepada keharaman jual beli khamr. Dengan penjelasan pengertian fiqh di atas, maka pengertian ushul fiqh, sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu dalil-dalil bagi hukum syara’ mengenai perbuatan dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi pengambilan hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci. Tidak lepas dari kandungan pengertian ushul fiqh sebagai rangkaian dari dua buah kata tersebut, para ulama’ ahli ushul fiqh memberi pengertian sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu syari’ah. Misalnya Abdul Wahab Khallaf memberi pengertian il,u ushul fiqh dengan :ilmu tentang kaidah-kaidah ( aturan-aturan/ketentuan-ketentuan ) dan pembahasan-pembahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci. Maksud dari kaidah-kaidah itu dapat dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan, yakni bahwa kaidah-kaidah tersebut merupakan cara-cara atau jalan-jalan yang harus ditempuh untuk memperoleh hukum-hukum syara’, sebagaimana yang terdapat dalam rumusan pengertian ilmu ushul fiqh yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah, sebagai berikut: Ilmu tentang kaidah-kaidah yang menggariskan jalan-jalan untuk memperoleh hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci. Dengan lebih mendetail, dikatakan oleh Muhammad Abu Zahrah bahwa ilmu ushul fiqh adalah ilmu yang menjelaskan jalan-jalan yang ditempuh oleh imam-imam mujtahid dalam mengambil hukum dari dalil-dalil yang berupa nash-nash syara’ dan dalil-dalil yang didasarkan kepadanya dengan memberi illat ( alasan-alasan) yang dijadikan dasar oleh syara’; oleh karena itu ilmu ushul fiqh juga dikatakan :
 مَجْمُوْعَةُ القَواَعِدِ الَّتىِ تُبَيِِّّنُ لِلْفَقِيْهِ طُرُقَ اِسْتِخْراَجِ الاَحْكاَمِ مِنَ الاَدِلَّةِ الشَّرْعِيَّةِ
Kumpulan kaidah-kaidah yang menjelaskan kepada faqih ( ahli hukum Islam ) cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil syara’.Berangkat dari beberapa pengertian ushul fiqh maupun fiqh seperti tersebut di atas ulama’ ushul menaruh perhatian yang besar sekali agar nash atau dalil yang berbahasa arab itu dapat dipahami dengan baik dan sempurna. Untuk itu mereka telah menciptakan beberapa kaidah lughawiyyah untuk dapat memahami nash atau dalil agar hukum-hukum dapat dipetik dari dalil yang menjadi pegangan hukum tersebut. Seseorang yang mau mengistimbatkan hukum dari dalil-dalilnya haruslah lebih dahulu mempelajari apa yang dinamakan

طُرُقُ الاِسْتِنْبَطِ

artinya cara atau methode mengeluarkan hukum dari dalilnya. Istimbath menurut bahasa ialah mengeluarkan, seperti dalam ucapan berikut ini:
 اِسْتِخْراَجُ الْماَءِ مِنَ الْعَيْنِ
 ( mengeluarkan /mengambil) air dari mata air.. sedang menurut iastilah adalah:

 اِسْتِخْراَجُ المَعاَنِ مِنَ النُّصُوْصِ بِفَرْطِ الذِّ هْنِ وَ قُوَّةِ القَرِيْحَةِ

Mengeluarkan makna-makna dari nash ( yang terkandung) dengan menumpahkan pikiran dan kemampuan ( potensi) naluriah. , karena nash itu sendiri ada yang berbentuk lafdziyyah (bahasa) dan ada yang berupa maknawiyyah (bukan bahasa) seperti istihsan, maslahat mursalah, sadz-dz=adzari’ah dan sebagainya.