Thursday, May 10, 2012

Berbada


 

BERBEDA

       Labaran kali ini keceriaan tampak jelas di rona wajahku. Berkumpul bersama keluarga. Tiga tahun di pondok membentuk karakterku lebih anggun dari sebelumnya. Bapak mungkin bangga melihat anak laki-lakinya ini mengikuti jejak kedua kakaknya, seorang penghafal Kalam Tuhan.
            Dan yang paling membahagiaan adalah aku akan segera bertemu dengan Indah, kekasih hati yang setia menungguku di kampung halaman. Aku tau dia akan senang melihat aku yang sekarang, bukan lagi menjadi anak nakal seperti semasa sekolah dulu.
            “kakak, usia Indah sepertinya sudah layak untuk menikah,” ucapnya saat aku temui selepas isya, saat takbir kembali dikumandangkan, bergema memenuhi udara. Pancaran matanya tulus membuatku sulit menolak apa yang menjadi permintaannya itu. Aku diam, hanya memberi sebingkis senyum untuk gadis berdarah pribumi ini.
            Aku hanya ingin melepas rindu ini, bukan merelakan masa depan. Perasaan ini tidak menentu, bayangan wajahnya yang lembut semakin membuatku tidak berani memutuskan apa yang harus aku putuskan. Sisi hatiku yang lain meyakinkan aku tidak boleh memutuskan rasa bangga bapak terhadapku. Tapi bagaimana jika Indah lebih dulu dikhitbah  seoarang selain aku? Betapa remuk hatiku.
            Secepat kilat bapak telah mendapat kabar ini. Tanpa menungguku berfikir apa yang harus aku lakukan terlebih dahulu.
            Selepas maghrib bapak memintaku menemuinya di ruang tamu. Bapak sudah menunggu sedari tadi, aku memposisikan diri di depan bapak berseberangan meja panjang yang penuh dengan kue-kue lebaran. Wahibah, adikku meletakan secangkir kopi di meja, tepat di depan tempat di mana bapak duduk. Kemudian kembali ke dapur, membantu ibu.
            Aku tahu, keadaan ini akan menjadi keadaan terburuk. Hatiku masih tidak menentu. Memikirkan bagaimana aku harus menjawab pertanyaan bapak. Lalu bagaimana aku harus menjawab permintaan Indah kemarin malam.
            “Kenapa mau cari calon istri diam-diam sama Bapak?” bapak membuka pembicaraan. Pertanyaan bapak seperti menohok di tenggorokan. Ngilu di dalam hati. Aku diam. “Akan lebih baik jika keturunanmu sama dengan keluarga kita, sama dengan Si Embah,” lanjut bapak menjelaskan apa yang diinginkan dari calon menantunya. Keturunan.
            Lagi-lagi aku diam, tapi hati ini berontak. Apa yang salah dengan keturunan? Toh dia begitu baik segala-galanya, cantik wajahnya, baik akhlaknya, rajin ibadahnya, lembut hatinya. Kenapa hanya karena dia pribumi membuat nilai yang begitu indah didirinya tertutupi. Indah, seperti namamu, aku tidak akan bisa meninggalkan gadis sesempurna itu.
            Adzan isya memecah pikiranku. Bapak mengambil kopi di depannya, lalu meneguknya dua tegukan. Meletakannya kembali. “Ke masjid le,”perintah bapak menutup pembicaraan malam ini tanpa menunggu jawabanku atau memberiku sedikit kesempatan untuk bicara. Ini tidak adil. Beliau beranjak keluar rumah menuju masjid yang jaraknya hanya beberapa jengkal dari rumah.
            Kata kata bapak yang terakhir sebenarnya adalah keputusan mutlak bahwa aku harus menuruti apa yang menjadi keinginan bapak. Meninggalkan yang aku tunggu bertahun tahun, yang telah terpupuk dalam di relung sana, dan meninggalkan mimpi yang pernah dibangun bersama. Perih.
            Semangat ini tak lagi menggebu-gebu seperti saat pertama tiba di sini. Kandas. Hari hari di rumah menjadi terasa begitu hambar. Hingga akhirnya aku harus kembali ke kediri tanpa semangat. Hilang. Hampa.
                                                                        ***
            Pak supir menghentikan busnya di terminal Terboyo, Semarang. Butuh setengah hari lagi untuk sampai di kediri. Aku masih duduk di kursi nomor dua tepat di samping jendela, sengaja kupilih di dekat jendela agar bisa menikmati pemandangan di luar, mengobati kejenuhan. Pikirankuku kosong. Semntara orang-orang bergegas turun dari bus untuk sekedar mencari udara segar atau mencari kamar mandi, atau mungkin memilih warung nasi untuk sekedar mengganjal perut dan menghilangkan rasa mual. Beberapa orang mencari listrik untuk mengecas hapenya.
            Aku teringat bagaimana reaksi Indah saat aku berpamitan tanpa memberi jawaban yang pasti padanya. Kecewa. Itu yang aku tangkap dari rautnya yang begitu lembut. Maafkan aku Ndah, aku benar benar mencintaimu, tapi aku tidak bisa. Mataku berkaca-kaca. Terasa pilu sekali di hati. Akhirnya tumpah juga segala gundah di hatiku, menetes melewati pipiku, kemudian beberaopa saat jatuh satu persatu di jaket biru pemberian ibu yang aku kenakan.
“Nggak turun Bang?” salah satu supir memecah lamunanku. Segera ku usap air mataku.
“Owh, iya Pak, kamar mandi di mana ya?” basi- basi aku bertanya. Aku tidak ingin dia melihatku menangis.
“Owh, di ujung sana, barat warung Pad**g kan ada musola, nah itu belakangnya,” bapak itu menjelaskan sambil menunjuk ke arah warung Pad**g yang berada di ujung terminal, mataku mengikuti.
“O.. iya Pak, makasih,” kataku semberi memberi senyum padanya, kemudian segera keluar dari bus.
“Ya” bapak itu mengiyakan kemudian mengambil posisi paling nyaman untuk tidur.
Setelah keluar dari kamar mandi aku mencari posisi paling nyaman untuk beristirahat, setidaknya duduk sejenak merenggangkan otot kakiku yang setelah delapan diperjalanan dalam posisi yang sama. Aku menuju musola, mengambil posisi di teras musola, meletakan rangselku dan duduk di sebelahnya. Pikiranku tentang Indah tak mau berhenti. Kembali bermunculan di setiap sudut otakku.
Setelah beberapa saat terdengar pengumuman yang bunyinya bahwa bus arah kediri akan segera berangkat, meminta para penumpang segera menaiki bus. Entah kenapa tubuh ini tidak mau beranjak. Hati ini memintaku untuk tetap disini. Bimbang. Bingung. Aku harus bagaimana? Aku tidak ingin kembali ke kediri. Kalau aku ke kediri artinya aku melepaskan seseorang yang sangat aku cintai untuk di khitbah orang lain. Tidak. Aku tidak ingin ini terjadi. Aku akan kembali menjemput Indah di kampung.
Seorang dari mereka menghampiriku. “Mas, kita berangkat sekarang,” aku terdiam, bingung. “Eh… kok malah diam, buruan!” katanya sedikit mengeraskan suaranya.
“Saya berhenti di sini aja Pak?” kataku tanpa ku duga juga akhirnya keluar dari mulutku. Apa-apaan ini? Aku sendiripun tidak mengerti dengan keputusanku. Bimbang, bingung, dan di sinilah awal kisah panjangku…

Bersambung…