Friday, May 11, 2012

Rindu ini untuk mamak


 Rindu Ini untuk Mamak


“Nduk, bapak nggak habis pikir, kamu bisa punya pikiran kuliah sejauh itu, emang nang kene ora enek kampus neh opo selain Unila?1” bapak semakin membuatku tartekan di sini, di kampung halaman yang menyesakkan dada. Setelah sebelumnya aku gagal lagi untuk masuk PTN di Lampung. Sebenarnya bukan aku tidak menghargai tanah kelahirankku sendiri. Tapi, mungkin karna kejenuhan dan rasa terkungkung di dalam belenggu tempurung yang terlalu 
penat. Pedih ini semakin mengiris, orang tuaku tidak mengizinkanku pergi ke Jogja, hal yang tak pernah terpikirkan oleh mereka sebelumnya.

“Ya udah Nduk, kalau emang kamu niat, kamu kudu2 prihatin, rajin sholat, rajin pakai jilbab dan mamak harap kamu ngambil jurusan pendidikan aja, biar ilmu kamu itu ngalir”, itu kalimat terakhir mamak dari perjuanganku mati-matian meyakinkan mereka. Bibirku kurasakan sunggingan senyum di sudut-sudutnya, aku bebas sekarang tanpa aturan, aku bisa keluar dari rumah yang kupikir lebih mirip seperti pasung yang mengungkung.

Ya, itu memang tujuan awalku , yang penting aku bisa pergi dari sini, lari dari rasa malu dengan teman-teman karena lagi-lagi aku harus gagal masuk PTN.

Aku berangkat hari jum’at pukul 13.00 tepat, setelah bapak sholat jum’at. Bapak mengantarku sampai ke kota, menuju PO membeli tiket jurusan lampung-jogja. Setelah itu tugas bapak seakan selesai, kemudian hanya melihat dan merelakan anak putrinya yang keras kepala ini pergi ke seberang. 

Di terminal Jogja, Mas Yoga sudah menunggu sejam yang lalu. Dia adalah tetanggaku di kampung, orang yang menjadi pengaruh besar kenapa aku bisa di Jogja saat ini. Dia tinggal tiga tahun lebih awal dariku. Sudah semester tujuh sekarang.

Beberapa hari di Jogja, di tengah-tengah calon mahasiswa lain, tepat di kampus satu, lantai satu, samping tangga di bangku nomor satu, aku dan Mas Yoga melihat-lihat deretan Prodi di belakang brosur Universitas yang aku tuju.

“Gimana mas? Yang pendidikan mahal banget”, kataku ketika melihat satu prodi pendidikan bahasa inggris dan deretan yang di depannya memiliki embel-embel pendidikannya, terlihat angka enam sampai tujuh diikuti angka nol enam kali. Kecewa. Kenapa berbeda dengan yang diceritakan Mas Yoga di telfon kemarin?

“Saiki ngene wae3 ver.”kata yoga padaku, “kamu sekarang bayar gede4, tahun berikutnya kamu bakal bayar lebih kecil, seterusnya sampai kamu lulus. Dan prospek ke depan kamu juga bagus. Inget tahun 2015 nanti ada pensiun besar-besaran lho?”Yoga menjelaskan panjang lebar meyakinkanku. Tatapannya penuh harap.

Aku hanya diam, memikirkan orang tuaku, mampukah? Sedangkan mereka di kampung hanya bergulat dengan lumpur-lumpur, bermain dengan padi-padi, sampai panen tiba. Butuh berbulan-bulan untuk memperoleh uang satu juta saja.

Lalu aku melihat deret yang berbau Religi, sastra arab? atau tafsir hadits? kelihatannya sangat murah, hanya 1,9 juta. Tapi kurasa kurang cocok denganku, bayanganku adalah seorang ulama. Lalu kulihat angka-angka yang paling kecil lagi. Ow, ada sastra Indonesia, hanya 2,2 juta. Tapi Mas Yoga terus mendesakku untuk mengambil jurusan pendidikan agar aku tidak menyesal nantinya. Dan akhirnya aku mengambil prodi Pendidikan Bahasa Inggris dan diterima. 

Aku menelpon mamak lagi dan menjelaskan biaya-biaya perkuliahan dimasing-masing prodi yang menjadi sasaranku “kalau Bahasa Inggris tujuh juta Bu, kalau BK enam juta tapi sebenarnya ada yang murah, Sastra Indonesia cuma dua koma dua juta”.
“Yo wis5 Nduk, kamu tahu kan kemampuan mamakmu ini? kamu mau mamak gak makan karena cuma buat kuliahin kamu?”, kata Ibu, tapi tetap aku rasakan suara kesabarannya.

“Pokoknya aku nggak mau tau mak, aku udah diterima di Pendidikan, prospeknya lebih besar ini”. Mamak menutup telepon sepertinya disertai rasa kesal. 
Aku tetap pada pendirianku.
Satu hari, satu minggu, satu bulan, satu tahun hingga akhirnya empat tahun aku jalani, aku hampir selesai membuat skripsi. Memang terkesan aku selalu memaksa ketika harus membayar uang semester yang biayanya lima kali penghasilan orang tuaku setiap panen tiba . Aku tidak peduli yang penting kemauanku dituruti.
***

Akhirnya sampai juga yang paling aku tunggu-tunggu, bulan depan aku wisuda, aku akan jemput mamak untuk menghadiri hari yang sudah sejak lama aku nantikan.
Aku sudah tidak sabar ingin bertemu mamak, aku ingin cepat-cepat beri tahu mamak bahwa perjuangan mamak menguliahkanku selama ini tidak sia-sia. Aku lulus cumlaude. Aku yakin mamak pasti bangga dan bahagia mendengar ini.
Sampai juga aku di kampungku, tak banyak yang berubah, hanya beberapa saja yang sedikit berbeda. Terlihat beberapa rumah yang arsitekturnya berubah. Sedikit menyesal dengan perubahan itu, ada kerinduan mendalam di sana. Kenapa harus berubah.

Aku masih di dalam travel, menyusuri jalan yang sangat tidak asing bagiku. Seperti kembali ke masa lalu.
Tapi aku lihat orang-orang berjalan kearah barat, sama seperti laju travel yang aku tumpangi. Tapi, mendung. Terasa padam. Ku lihat beberapa orang yang aku kenal. Mbak Dewi. Miris melihat matanya bengab, seperti habis menangis berhari-hari.
Semakin dekat dengan arah tujuanku pulang, semakin rapat rumunan orang-orang. Hatiku gelisah, resah, seperti teremas remas melihat padamnya siang di kampungku ini. Oh Tuhan, ada apa? Kerumunan itu berpusat di rumahku, di rumah berdinding setengah batu bata merah setengah papan dari kayu jati, tidak berubah.
Aku segera turun namun tidak bergegas lari. Semua orang-orang melihatku acuh, seperti tak ada pentingnya dengan kepulanganku. Dari beberapa mereka aku melihat Siwo Mus. Aku akan bertanya saja dengannya. Aku berlari kecil menuju tempat siwo duduk, di samping rumahku, “Siwoo!” Panggilku langsung kudekap tubuhnya yang dua kali ukuran tubuh mamak.

“Nduk kamu udah pulang?” matanya sembab, suaranya bergetar.

“Ada apa wo, kenapa ramai? tanpa basa-basi.

Tanpa menjawab, malah tangisnya pecah. Aku lihat bapak berjalan tak jauh dariku, tatapannya seperti penuh kebencian mendalam. Aku coba sunggingkan senyum, diam tak menggubrisku. Berlalu tanpa menyapaku sedikitpun. Apa salahku? Sakit sekali rasanya.

Di dekat pohon beringin depan rumah, ku lihat adik kecilku, Nduk Anik dipangku Bulek Nur, adik ipar bapak, hatiku makin perih melihatnya menangis tak henti-henti.
Perlahan aku masuk di sela-sela kerumunan. aku melihat ujang yang tertutup kain jarit, semakin aku masuk, semakin terlihat jelas memenjang ujung yang aku lihat tadi. Lemas semua badanku, tapi tak menyerah aku mendekati yang aku lihat tadi. Perlahan aku dekati, perlahan aku buka kain jarit itu. Oh Tuhan…. “Mamak!” memekik tak kuasa.
“Jangan tinggalin vera mak!”. Hancur, semua terlintas mendesak-desak dalam di otakku, semua tentang pengorbanan mamak, semua sakit hati mamak karna kerasnya hatiku, semua tantang kesabarannya menghadapiku. Lalu semua hilang. Aku tak ingat apa-apa lagi.

***

Aku terbangun dari tidurku, tubuhku gobios6 penuh dengan keringat, sesak ini masih terasa di dada. Untung cuma mimpi.
Aku segera merapikan tempat tidur dan bergegas mandi untuk bersiap-siap berangkat kuliah. Untung saja tugas filologiku sudah kelar semalam. Ya, akhirnya aku masuk jurusan yang lebih miring biayanya.

Hapeku bergetar, mamak.
“assalamu’alaikum, iya mak”. 
“wa’alaikumsalam Nduk, piye7? Uangnya masih cukup nggak?” Tanya mamak, suaranya menentramkan hati.
Aku tersenyum bahagia, aku masih bisa mendengar suara kesabarannya. Dan pastinya aku masih bisa merasakan aroma kasihnya. “Masih mak.” aku ingin membuatnya merasa lebih ringan bebannya.

http://stat.ks.kidsklik.com/statics/files/2012/02/13303093671141381758.jpg
Hatiku berbinar, aku tidak salah menuruti kata mamak dulu, aku tidak ingin mimpiku barusan menjadi kenyataan. Tidak mau, sama sekali tidak mau. Karna aku sayang sekali mereka.

Menghantarkan Orang Tua ke Surga


Menghantarkan Orang Tua ke Surga
Masih ingatkah kita dengan sebuah kisah di masa Rasulullah? Tentang ketaatan seorang wanita yang ditinggal oleh suaminya berjihad dengan satu pesan, “Jangan pergi sebelum saya pulang”. Dan ternyata, dalam masa kepergian suaminya, orangtuanya sakit keras. Saudara-saudaranyapun memintanya hadir, untuk menemui orang tuanya yang sedang sakit, namun karena ketaatannya kepada suami, dia tak juga berangkat menemui orang tuanya hingga meninggal. Tentu, kita semua mengingatnya bukan?
Bagi kita manusia biasa, peristiwa tersebut terasa amat janggal. Tak masuk akal. Bagaimana mungkin seorang anak mampu bertahan tidak menemui orang tuanya yang sedang sakit keras bahkan sampai meninggal, hanya karena taat kepada pesan suami. Mungkin, sebagian kita bahkan akan mengumpat dan mencaci maki kepada wanita tersebut bila kita hidup di masa itu.
Kita akan katakan kepada wanita tersebut sebagai anak yang tak berbakti, anak yang tak tahu balas budi atas kasih sayang orang tua, anak yang keterlaluan, tak punya perasaan, dan berbagai umpatan yang lainnya.
Namun, apa kata Rasulullah ketika ditanya tentang kejadian itu? Rasulullah dengan mantap menjawab, bahwa orang tua wanita tersebut masuk surga karena telah berhasil mendidik anaknya menjadi wanita shalihah. Subhaanallah!
Karenanya, marilah kita para orang tua berusaha sekuat tenaga, untuk menjadikan anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholihah. Anak yang akan senantiasa mendo’akan kita kapan pun dan di manapun berada. Anak lelaki yang mampu menjadi qowwam bagi keluarganya, dan tetap berbakti kepada orang tuanya, serta anak perempuan yang menjadi istri dan ibu shalihah, yang mampu mengantarkan anak-anaknya menjadi anak-anak yang shaleh dan shalihah pula.
Kepada para orang tua yang telah mengantarkan putra-putrinya ke dalam kehidupan rumah tangga, janganlah menjadi orang tua yang egois, yang selalu ingin didampingi anak-anak, dan tak mau melepaskan kepergiannya. Relakan anak-anak pergi dari pangkuan kita, untuk menjalani hidup mandiri, menjadi nahkoda kapal layar yang telah dibangunnya, sebagai salah satu bukti kasih sayang kita kepada mereka.
Do’akan selalu, agar anak-anak lelaki kita dapat menjadi nahkoda-nahkoda yang handal, yang mampu mengarahkan bahtera rumah tangga menjadi rumah tangga yang barokah, penuh cinta dan kasih sayang, serta mampu menjadi qowam bagi istri dan anak-anaknya. Do’akan pula agar anak-anak perempuan kita dapat menjadi istri-istri sholihah, yang dapat mencipatakan susana rumah yang bagaikan surga dunia dimata keluarganya, mampu melahirkan anak-anak yang taat kepada Allah dan kepada kedua orang tuanya, serta mampu memberikan rasa nyaman kepada suami dan anak-anaknya. Hingga pada akhirnya, mereka menjadi pengantar-pengantar kita meraih surga-Nya. Insya Allah. Aamiin.
Add caption
Wallohu a’lam bbishshowwab.