Tuesday, May 29, 2012

Kunci Masuk Surga



Rasululullah shallallahu’alaihiwasallam bercerita,
سَأَلَ مُوسَى رَبَّهُ: مَا أَدْنَى أَهْلِ الْجَنَّةِ مَنْزِلَةً؟ قَالَ: هُوَ رَجُلٌ يَجِىءُ بَعْدَ مَا أُدْخِلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ فَيُقَالُ لَهُ: ادْخُلِ الْجَنَّةَ. فَيَقُولُ: أَىْ رَبِّ كَيْفَ وَقَدْ نَزَلَ النَّاسُ مَنَازِلَهُمْ وَأَخَذُوا أَخَذَاتِهِمْ؟ فَيُقَالُ لَهُ: أَتَرْضَى أَنْ يَكُونَ لَكَ مِثْلُ مُلْكِ مَلِكٍ مِنْ مُلُوكِ الدُّنْيَا؟ فَيَقُولُ: رَضِيتُ رَبِّ. فَيَقُولُ: لَكَ ذَلِكَ وَمِثْلُهُ وَمِثْلُهُ وَمِثْلُهُ وَمِثْلُهُ. فَقَالَ فِى الْخَامِسَةِ: رَضِيتُ رَبِّ. فَيَقُولُ: هَذَا لَكَ وَعَشَرَةُ أَمْثَالِهِ وَلَكَ مَا اشْتَهَتْ نَفْسُكَ وَلَذَّتْ عَيْنُكَ. فَيَقُولُ: رَضِيتُ رَبِّ…”.
“(Suatu saat) Nabi Musa bertanya kepada Allah, ”Bagaimanakah keadaan penghuni surga yang paling rendah derajatnya?”. Allah menjawab, “Seorang yang datang (ke surga) setelah seluruh penghuni surga dimasukkan ke dalamnya, lantas dikatakan padanya, “Masuklah ke surga!”. “Bagaimana mungkin aku masuk ke dalamnya wahai Rabbi, padahal seluruh penghuni surga telah menempati tempatnya masing-masing dan mendapatkan bagian mereka” jawabnya. Allah berfirman, “Relakah engkau jika diberi kekayaan seperti raja-raja di dunia?”. “Saya rela wahai Rabbi” jawabnya. Allah kembali berfirman, “Engkau akan Kukaruniai kekayaan seperti itu, ditambah seperti itu lagi, ditambah seperti itu, ditambah seperti itu, ditambah seperti itu dan ditambah seperti itu lagi”. Kelima kalinya orang itu menyahut, “Aku rela dengan itu wahai Rabbi”. Allah kembali berfirman, “Itulah bagianmu ditambah sepuluh kali lipat darinya, plus semua yang engkau mauim serta apa yang indah di pandangan matamu”. Orang tadi berkata, “Aku rela wahai Rabbi”…”. HR. Muslim (I/176 no 312) dari al-Mughîrah bin Syu’bah radhiyallahu’anhu.
Seorang muslim yang mendengar hadits di atas atau yang semisal, ia akan semakin merindukan untuk meraih kemenangan masuk ke surga Allah kelak. Bagaimana tidak? Sedangkan orang yang paling rendah derajatnya di surga saja sedemikian mewah kenikmatan yang akan didapatkan di surga, lantas bagaimana dengan derajat yang di atasnya? Bagaimana pula dengan orang yang menempati derajat tertinggi di surga? Pendek kata mereka akan mendapatkan kenikmatan yang disebutkan oleh Allah dalam al-Qur’an,
فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّا أُخْفِيَ لَهُم مِّن قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاء بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ”.
Artinya: “Seseorang tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka; yaitu (bermacam-macam kenikmatan) yang menyedapkan pandangan mata, sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”. QS. As-Sajdah: 17.
Namun anehnya ternyata masih banyak di antara kaum muslimin yang tidak ingin masuk surga, sebagaimana telah disinggung oleh Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam dalam haditsnya,
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى” قَالُوا: “يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى؟” قَالَ: “مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى”.

“Seluruh umatku akan masuk surga kecuali yang enggan”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah yang enggan (untuk masuk surga)?”. Beliau menjawab, “Barang siapa yang taat padaku maka ia akan masuk surga, dan barang siapa yang tidak mentaatiku berarti ia telah enggan (untuk masuk surga)”. HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.
Jadi tidak setiap yang mendambakan surga, kelak akan mendapatkannya; karena surga memiliki kunci untuk memasukinya; barang siapa yang berhasil meraihnya di dunia; niscaya ia akan merasakan manisnya kenikmatan surga kelak di akhirat, sebaliknya barang siapa yang gagal merengkuhnya; maka ia akan tenggelam dalam kesengsaraan siksaan neraka.
Kunci tersebut ada empat, yang secara ringkas adalah:
1.Ilmu.
2.Amal.
3.Dakwah.
4.Sabar.
Empat kunci ini telah Allah subhanahu wa ta’ala isyaratkan dalam surat al-’Ashr:
وَالْعَصْرِ . إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ . إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ”.
Artinya: “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang (1) beriman[1], (2) beramal shalih, (3) saling nasehat menasehati dalam kebaikan dan (4) saling nasehat menasehati dalam kesabaran”. QS. Al-’Ashr: 1-3.
Sedemikian agungnya surat ini, sampai-sampai Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Seandainya Allah tidak menurunkan hujjah atas para hamba-Nya melainkan hanya surat ini; niscaya itu telah cukup”[2].
Berikut penjabaran ringkas, masing-masing dari empat kunci tersebut di atas:
1. Kunci Pertama: Ilmu:
Yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ilmu agama, yaitu ilmu yang berlandaskan al-Qur’an dan Hadits dengan pemahaman para sahabat Nabi shallallahu’alaihiwasallam.
Ilmu yang dibutuhkan oleh seorang insan untuk menjalankan kewajiban-kewajiban agama, wajib hukumnya untuk dicari oleh setiap muslim dan muslimah, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam dalam sabdanya,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
.
“Mencari ilmu hukumnya wajib atas setiap muslim”. HR. Ibnu Majah dari Anas bin Mâlik ط, dan dinyatakan sahih oleh Syaikh al-Albâni dalam tahqiqnya atas Misykâh al-Mashâbîh.
Di antara beragam disiplin mata ilmu agama, yang seharusnya mendapatkan prioritas pertama dan utama untuk dipelajari dan didalami terlebih dahulu oleh setiap muslim adalah: ilmu tauhid. Karena itulah pondasi Islam dan inti dakwah seluruh rasul dan nabi. Allah ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ”.
Artinya: “Dan telah Kami utus seorang rasul di setiap umat (untuk menyerukan) sembahlah Allah semata dan jauhilah thaghut”. QS. An-Nahl: 36.
2. Kunci Kedua: Amal:
‘Perjalanan suci’ seorang hamba setelah memiliki ilmu belum usai, namun masih ada ‘fase sakral’ yang menantinya; yaitu mengamalkan ilmu yang telah ia miliki tersebut. Ilmu hanyalah sarana yang mengantarkan kepada tujuan utama yaitu amal.
Demikianlah urutan yang ideal antara dua hal ini; ilmu dan amal. Sebelum seorang beramal ia harus memiliki ilmu tentang amalan yang akan ia kerjakan, begitupula jika kita telah memiliki ilmu, kita harus mengamalkan ilmu tersebut.
Seorang yang memiliki ilmu namun tidak mengamalkannya akan dicap menyerupai orang-orang Yahudi, dan mereka merupakan golongan yang dimurkai oleh Allah ta’ala, sebaliknya orang-orang yang beramal namun tidak berlandaskan ilmu, mereka akan dicap menyerupai orang-orang Nasrani, dan merupakan golongan yang tersesat. Dua golongan ini Allah singgung dalam ayat terakhir surat al-Fatihah:
اهدِنَا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ . صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ”.
Artinya: “Tunjukkanlah pada kami jalan yang lurus. Yaitu jalan golongan yang engkau karuniai kenikmatan atas mereka, bukan (jalannya) golongan yang dimurkai ataupun golongan yang tersesat“. QS. Al-Fatihah: 6-7.
3. Kunci Ketiga: Dakwah:
Setelah seorang hamba membekali dirinya dengan ilmu dan amal, dia memiliki kewajiban untuk ‘melihat’ kanan dan kirinya, peduli terhadap lingkungan sekitarnya. Kepedulian itu ia apresiasikan dengan bentuk ‘menularkan’ dan mendakwahkan ilmu yang telah ia raih dan ia amalkan kepada orang lain.
Inilah fase ketiga yang seharusnya dititi oleh seorang muslim, setelah ia melewati dua fase di atas. Dia berusaha untuk mengajarkan ilmu yang ia miliki kepada orang lain, terutama keluarganya terlebih dahulu, dalam rangka meneladani metode dakwah Rasulullah shallallahu’alaihiwasallamyang Allah ceritakan dalam firman-Nya,
وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ”.
Artinya: “Dan berilah peringatan (terlebih dahulu) kepada keluarga terdekatmu”. QS. Asy-Syu’arâ’: 214.
Tidak sepantasnya seorang da’i menyibukkan dirinya untuk mendakwahi orang lain di mana-mana lalu ‘menterlantarkan’ keluarganya sendiri; sebab sebelum ia ‘mengurusi’ orang lain, ia memiliki kewajiban untuk ‘mengurusi’ keluarganya terlebih dahulu, sebagaimana yang dijelaskan oleh Allahta’ala dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً”.
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka”.QS. At-Tahrîm: 6.
Dalam berdakwah terhadap keluarga maupun kepada orang lain, kita dituntut untuk senantiasa mengedepankan sikap hikmah, dalam rangka mengamalkan firman Allah ta’ala,
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ”.
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, serta berdebatlah dengan mereka dengan jalan yang baik”. QS. An-Nahl: 125.
Inilah kunci ketiga yang akan mengantarkan seorang hamba ke surga. Namun seseorang tidak dibenarkan untuk langsung meloncat ke fase ketiga ini (yakni dakwah) tanpa melalui dua fase sebelumnya (yakni ilmu dan amal); karena jika demikian halnya ia akan menjadi seorang yang sesat dan menyesatkan ataupun menjadi seorang yang amat dibenci oleh Allah ta’ala.
Mereka yang berdakwah tanpa ilmu, Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam sifati dalam sabdanya sebagai  orang yang sesat dan menyesatkan,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا؛ اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
.
“Sesungguhnya Allah tidak melenyapkan ilmu (dari muka bumi) dengan cara mencabut ilmu tersebut dari para hamba-Nya, namun Allah akan melenyapkan ilmu (dari muka bumi) dengan meninggalnya para ulama; hingga jika tidak tersisa seorang ulamapun, para manusia menjadikan orang-orang yang bodoh sebagai panutan, mereka menjadi rujukan lalu berfatwa tanpa ilmu, sehingga sesat dan menyesatkan. HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin ‘Amrradhiyallahu’anhuma, dengan redaksi Bukhari.
Sedangkan mereka yang berdakwah kemudian tidak mengamalkan apa yang didakwahkannya, Allah ta’ala cela dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ . كَبُرَ مَقْتاً عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ”.
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika laian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan”. QS. Ash-Shaff: 2-3.
4. Kunci Keempat: Sabar:
Kesabaran dibutuhkan oleh setiap muslim ketika ia mencari ilmu, mengamalkannya dan mendakwahkannya; karena tiga fase ini susah dan berat.
Proses pencarian ilmu membutuhkan semangat ‘empat lima’ dan kesungguhan, sebagaima disitir oleh Yahya bin Abi Katsir :, “Ilmu tidak akan didapat dengan santai-santai”.
Pengamalan ilmu juga membutuhkan kesabaran, karena hal itu merupakan salah satu jalan yang utama yang mengantarkan seorang hamba ke surga, dan jalan menuju ke surga diliputi dengan hal-hal yang tidak disukai oleh nafsu. Dalam hadits shahih disebutkan,
حُفَّتْ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتْ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ”.
“(Jalan menuju ke) surga diliputi dengan hal-hal yang dibenci (nafsu), sedangkan (jalan menuju ke) neraka diliputi dengan hal-hal yang disukai hawa nafsu”. HR. Muslim dari Anas bin Mâlikradhiyallahu’anhu.
Tidak ketinggalan, dakwah juga membutuhkan kesabaran, karena itu merupakan jalan yang dititi para rasul dan nabi.
Sa’ad radhiyallahu’anhu bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berat cobaannya? Beliau shallallahu’alaihiwasallam menjawab, “Para nabi lalu mereka yang memiliki keutamaan yang tinggi, lalu yang di bawah mereka…”. HR. Tirmidzi dan beliau berkata, “Hasan shahih”, demikian pula komentar Syaikh al-Albani.
Inilah empat kunci masuk surga, semoga Allah ta’ala melimpahkan taufiq-Nya kepada kita semua untuk bisa meraihnya, amin.
Wallahu ta’ala a’lam. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in

1.   Al-Qur’an dan Terjemahannya.
2.   Kitab al-’Ilm, oleh al-’Utsaimîn.
3.   Misykâh al-Mashâbîh, karya at-Tibrîzî..
4.   4. Shahih Bukhari.
5.   5. Shahih Muslim.
6.   6. Sunan Ibn Mâjah.
7.   7. Sunan Tirmîdzi.
8.   Tafsir al-Imam asy-Syafi’i, dihimpun oleh Dr. Ahmad bin Mushthafa al-Farrân.

[1] Di dalam ayat tersebut disebutkan bahwa hal pertama yang akan menyelamatkan manusia dari kerugian adalah iman, lantas mengapa disimpulkan darinya bahwa kunci pertama dari empat kunci masuk surga adalah ilmu? Karena iman yang benar adalah iman yang dilandaskan di atas ilmu yang benar, jadi yang menjadi asas dan pondasi adalah ilmu. Lihat: Kitab al-’Ilm karya Syaikh 

Sunday, May 27, 2012

MENGAPA HARUS BERMADZHAB






MENGAPA HARUS BER MADZHAB???
 

 
Berbicara tentang madzhab, taladzum (tidak terlepas) dengan brbicara tentang ahlussunnah wal jama’ah, dan berbicara tentang ahlussunnah wal jama’ah jg tidak terlepas dengan sejarah umat islam setelah ditinggal oleh Rosulallah SAW.
a.       Kondisi umat islam
Generasi pertama (periode sahabat Nabi Ra. ) tidaklah banyak kesulitan memahami Alqur’an dan hadis karena :
A.      Mereka masih dekat dengan Nabi di ukur dengan ruang dan waktu sehingga arti sebuah ayat dan hadis di benak mereka jelas baginya.
B.      Hawanafsu dan kepentingan diri atau golongan belum banyak mempengaruhi, oleh karenanya penafsiran dan ide nya belum terkoptasi oleh kepentingan sehingga measih terjamin kemurniannya.
C.      Kemampuan hafalan dan rahasia bahasa arab telah memadai, sehingga kekeliruan biasa dihindari tanpa di ragukan.
D.      Permasalahan yang memerlukan ijtihad belum banyak dihadapi.
E.       Pengaruh dari luar belum banyak dihadapi
Generasi kedua ( priode tabi’in )keadaan menjadi berbeda karrena :
a.       Jarak dengan Nabi menurut ukuran waktu semakin jauh, sehingga pendalaman arti dari sebuah ayat  dan hadis memerlukan ijtihat karena tidak dapat di tanyakan dengan Nabi tidak seperti zaman para sahabat dan sebelum nya
b.      Banyak tokoh-tokoh baru diluar bangsa arabmenggabungkan diri dalam islam yang sebelumnya memiliki adat istiadat, alam pikiran dan haluan, yang tidak mudah mengadoptasikan dengan islam sehingga penafsiran tentang Alqur’an dan haadis sering dipengaruhi oleh apa yang mereka perlukan.
c.       Masalah yang memerlukan ijtihat semakin banyak dan kompleks, sehingga tidak mudah di pertanggung jawabkan.
Generasi ketiga (periode tabu tabi’in) keadaan lebih berubah lagi :
a.       Kesalahan  mulai timbul akibat ijtihad dilakukan oleh org-org  yg tidak memenuhi sarat dalam ijtihad.
b.      Pengaruh kepentingan atau golongan semakin banyak.
c.       Terjadi kemrosotan moral dan etika ke agamaan. Sehingga tidak dapat dipertanggung jawabkan kejujuran dan kemurniannya.
d.      Semakin banyaknya aliran yang timbul dg menggunakan kekuatan akal murni untuk kepentingn golongan, dan munculnya golongan yang menafsirkan Alqur’an tidak dengan hadis.
  
 Muncul nya madzhab
Ketika kekacauan melanda akibat kesimpang siuran pendapat, maka umat islam mulai kehilangan keseimbangan oleh karena itu Allah memberikan jalan keluar dg munculnya tokoh-tokoh mujadid ( pembaharu pelurus jalan/reformer )mereka mengemukakan bahwa :  menggali hukum islam dengan sistem ijtihad dan istimbath dari sumber asli yaitu Al qur’an dan Hadis dan dilengkapi kemudian dg ijma’ dan qias yaitu :
Imam abu hanifah An nukman bin tsabit : (80 H-150 H)
Imam Malik bin Annas bin Amir : (93 H-193 H)
Imam syafi’i Abu Abdillah bin Idris bi Abbas : (150 H-250 H)
Imam Ahmad bin Hambal bin Hilal : (164 H – 241 H).

PENGERTIAN MAZHAB

Mazhab artinya jalan, dalam masalah agama sering disebut dg aliran sebenarnya banyak sekali aliran dan mazhab yang dikenal dalam sejarah islam sejak masa sahbat dan munculnya perbadaan pendapat dalam masalah cabang agama, dimana setiap sahabat bisebut  dg istilah mazhab, maka disana dikenal dg mazhab ‘Aisyah, mazhab abdullah bin umar, mazhab abdullah bin mas’ud, mazhab ibnu jubair dll. Sampai sekitar pertengahan abad keempat, ada sebelas mazhab terkenal, termasuk diantaranya keempat madzhab tersebut. Selanjutnya empat madzhab tersebut adalah madzhab yang paling popular di kalangan umat islam sunni serta mendapat perhatian besar dari para pengikut nya.
Bagi org awam madzhab adalah semata untuk memudakan mereka untuk mengikuti ajaran Agama, sebab mereka tidak perlu mencari setiap ada permasalahan dari sumbar aslinya yaitu Alqur’an dan hadis, namun mereka cukup membaca dan memahami tatacara beribadah dari madzhab-madzhab tersebut. Bisa dibayangkan bagai mana sulitnya beribadah bagi orang awam jika semua harus mencari dan mempelajari secara langsung dari sumber aslinya. Betapa beratnya jika semua orang harus ber ijtihad. Dengan demikian selama mengakui sbgi org awam bagaimana mungkin bisa beribadah, mu’aamalah, jika tidak taqlid dg  madzhab.
Saat ini pengaruh madzhab sangat popular dan kuat di kalangan umat islam, sehingga tidak satu komunitaspun yang sebenarnya bebas madzhab.ini karena agama yang dianut komunitas tersebut sudah pasti di ambil / dipengaruhi oleh salah satu madhab yang ada contohnya dalam maslah saudi arabia, meskipun diklaim tidak bermadzhab namun perakteknya mereka menerapkaan madzhab hambali, karena masarakat mengenal islam melalui madzhab hambali. Masarakat kita indonesia, meskipun ada yang mengeklaim tidak menggunakan madzhab, namun dalam perakteknya tetap saja secara ritual dan tata-cara beribadah masarakat kita cenderung mengikuti madzhab safi’i, karena melalui madzhab inilah masarakat indonesia mengenal islam, terutama kaum nahdziyyin dimana kulturnya penganut madhab empat sebagai pegangan dalam berfiqih. Hal itu menunjukkan elastisitas dalam fleksibelitas sekaligus memungkinkan bagi nahdyyin untuk beralih madhab secara total/ dalam beberapa hal yang dipandang sbg kebutuhan (hajat) meskipun kenyataan kesehariannya menggunakan fiqih yang bersumer dari madzhab imim safii. Hanya dalam keadaan tertentu agar tidak terlalu melawan budaya konfensional, berpaling kemadzhab lain.
Dalam ilmu usl fiqi, terdapat istilah penting yang berkaitan dalam masalah bermadzhab , yaitu ijtihad, taqlid, talfiq.

Ijtihad

Ijtihad didefinisikan sebagai upaya untuk menemukan hukum-hukum syari’at (Agama) untuk bisa mencapai taraf ijtihad, para u’lama’ membuat beberapa persyaratan yaitu. :
1.       Mengetahui arti ayat-ayat Al-qur’an baik dari segi bahasa maupun hukum.
2.       Mengetahui hadis-hadis hukum dan mengetahui maksud-maksudnya baik dari segi bahasa maupun hukum.
3.       Mengetahui dan memahami nasikh nam mansukh (membuang dalam hukum Qur’an dan Hadis).
4.       Mengetahui permasalahan yang telah terjadi. Konsensus para u’lama’ mengenai hukum nya.
5.       Mengtahui masalah analogi hukum islam.
6.        Mengetahui bahasa arab.
7.       Mengetahui metodologi pengabilan hukum islam
8.       Mengetahui maqosid sari’yah (filsafat hukum islam)
Ijtihat dalam masalah-masalah agama senan tiasa terbuka sampai kapan pun pintu ijtihat tidak tertutup, silahkan dibukak asalkan ada kemampun membukanya dengan ijtihat berikut dengan sarat-saratnya. Karena menutup pintu ijtihat sama saja melarang orang berfikir. Agama islam adalah agama yang mengajak kebebasan berfikir dengan logika yang benar imim baghowi pernah mengatakan bahwa mencari ilmu itu bisa mencapai tingkat ijtihad hukumnya fardu kifayah.
Bila dalam satu masa, tidak ada orang yang mencari ilmu untuk meraih tingkat ijtihat maka, berdosalah seluruh umat islam yang hidup pada saat itu. Mencari hukum-hukum islam untuk permasalahan baru dizaman sekarang jg termasuk ijtihat. Ijtihat dibuka dalam segala bidang , termasuk dalam masalah2 ritual dan fikih. Hanya yang perlu diketahui dissini adalah ijtihad dengan cara metodologoi dan etika yang benar sesuai dengan dalail-dalil yang ada.

Taqlid

Taqlid adalah mengambil pendapat-pendapat ulama’, dengan tanpa mengetahui dalilnya mengambil satu hukum dengan refrensi empat madhab atau yang lain dengan tapa memehami dalil termasuk taqlid. Taqlid dapat dilakukan oleh orang-orang yang pengetahuan agamanya terbatas, sehingga tidak mempunya kemampuan untuk mengakses dalil yang ada. Dan taqlid yang terbaik adalah dengan disertai dalil-dalil pendapat yang diketahui. Bidang yang diperbilehkan taqlid menurut sebagian besar ulama’, secara teoritis, adalah fru’ (cabang-cabang fiqih) sedangkan masalah tauhid (keyakinan) tidah boleh taqlid. Namu jika dikaji secara empiris, tentu sulit untuk menerapkan ketentuan seperti itu. Masarakat yang kemampuanya terbatas dalam bidang apapun, pasti akan cendrung melakukan taqlid. Dalam ilmu logika bahwa manusia tetap ada keterbatasanya maka tidak bisa terlepas dari auriti (taqlidy) artinya manusia ketika menghadapi sebuah persoala yang tidak mampu dipecahklan sendiri maka diserahkan kepada yang ahli.

Bertaqlid kepada salah satu madzhab empat merupakan suatu tindakan terpuji, karena muqolid (orang yang melakukan taqlid) tentu telah berkeyakinan bahwa madzhab yang dianutnya adalah yang terbaik bagi dirinya, namun fanatik kepada madzhab selainnya itu merupakan perbuatan tercela, karena ini berarti menganggap madzhab lain salah. Muqollid harus tetap ber keyakinan bahwa disana ada pebndapat lain yang mingkin layak jg untuik dipakai. 

Keuntungan dari menggunakan satu madzhab adlah dari aspek simplifikasi pengajaran. Orang awam itu lebih mudah belajar dan diajari dengan pendekatan satu madzhab, karena itu tidak membingungkan. Merangsang fanatisme madzhab, apalagi pada kalangan awam yang tidak diberi wawasan agama yang baik. Terkadang taqlid kepada satu madzhab juga memperberat penerapan hukum, apalagi bil kondisi tidak memungkinkan. 

Sebagian besar ulama’ berpendapat tidak ada ketentuan yang mewajibkan bertaqlid kepada satu imam saja, namun buleh kepada imam lain yang diyakininya benar. Pendapat inijuga dipakai oleh para ulama’ terkemuka saat ini, karena menghembuskan nafas keterbukaan dalam hukum agama .

Semula jumlah madzhab yang terkenal dan ada pengikutnya ada sebelas kemudian pada tahun 500 H. Madzhab tersebut adayang tidak meneruskan lalu bergabung dengan mazhab lain yang akhirnya tinggal delapan. Dan terjadi penyusutan karena setelah mujtahidnya wafat tidak ada yang meneruskan maka jumlah madzhab tinggal empat dan madzhab empat ini bertahan karena pengikut dan penerusnya terus mengembangkan sistem dan pembukuan terkenal dengan sebutan madzhaibul araba’ah. Kitab nizan kubro hal.53.

Talfiq
Permasslahan taqlid yang telah mengundang polimik ulama’ dari rentaang waktu yang sangat cukup panjang pada sekitar abad -10 H. Telah mengantarkan kepadagagasa pembatasan taqlid, yaitu dengan konsep talfiq. Talfiq didefinisikan : mencetuskan hukumdengan mengkombinasikan berbagai madzhab, sehingga hukum tersebut menjadisamasekali baru, tidak seorang ulama’ pun yang mengatakannya mencampur2 madzhab dengan sengaja dan mencetuskan hukum baru yang sama sekali tidak ada dalilnya, itulah yang lebih tepat disebut talfiq yang dicela agama. Adapun berpindah madzhab dalam satu masalah agama dengan berlandaskan kepada dalil atau kondisi tertentu, tidaklah termasuk talfiq.
 Dalm menggunakan madzhab yang berbeda2 yang perlu diperhatikan adalah sbg :
1.       Tidak dengan sengaja mencari2 yang mudah (sengaja mencari enaknya) dengan tujuan mempermainkan mengantarkan hukum baru yang sama sekali tidak dikatakan oleh salah satu ulama’ . misalnya mengambil pendapat yang mengatakan boleh nikah tanpa wali, kemudian mengambil pendapat kedua yang mengatak boleh nikah tanmpa saksi, kemudian mengambil pendapt ketiga yang mengatakan saah nikah tanmpa mahar, lalu mencetuskan pendapat “boleh nikah tanmpawali saksi dan mahar”  , pedapat ini tidak adaseorang pun ulama’ yang mengatakannya.
2.       Tidak mengantarkan kepada pendapat baru yang sama sekali bertentangan dengan dalil.
3.       Tidak memeaksakan diri menggunakan pendapat yang telah diyakini kelemahannya.
4.       Tidak boleh dalam satu ibadah, misalnya dalam wudlu mengambil madzhab safi’i dalam mengusap sebagian kepala, kemudian mengikuti madzhab hanafi dalam masalah tidak batal memegang kemaluan , padahal tanmpa mengetahui dalil masing-masing dan hanya ber madzhab buta atau taqlid 

 mbersambung...
b
5.