Rindu Ini untuk Mamak
“Nduk, bapak nggak
habis pikir, kamu bisa punya pikiran kuliah sejauh itu, emang nang kene ora
enek kampus neh opo selain Unila?1” bapak semakin membuatku tartekan di sini,
di kampung halaman yang menyesakkan dada. Setelah sebelumnya aku gagal lagi
untuk masuk PTN di Lampung. Sebenarnya bukan aku tidak menghargai tanah
kelahirankku sendiri. Tapi, mungkin karna kejenuhan dan rasa terkungkung di
dalam belenggu tempurung yang terlalu
penat. Pedih ini semakin mengiris, orang
tuaku tidak mengizinkanku pergi ke Jogja, hal yang tak pernah terpikirkan oleh
mereka sebelumnya.
“Ya udah Nduk, kalau
emang kamu niat, kamu kudu2 prihatin, rajin sholat, rajin pakai jilbab dan
mamak harap kamu ngambil jurusan pendidikan aja, biar ilmu kamu itu ngalir”,
itu kalimat terakhir mamak dari perjuanganku mati-matian meyakinkan mereka.
Bibirku kurasakan sunggingan senyum di sudut-sudutnya, aku bebas sekarang tanpa
aturan, aku bisa keluar dari rumah yang kupikir lebih mirip seperti pasung yang
mengungkung.
Ya, itu memang tujuan
awalku , yang penting aku bisa pergi dari sini, lari dari rasa malu dengan
teman-teman karena lagi-lagi aku harus gagal masuk PTN.
Aku berangkat hari
jum’at pukul 13.00 tepat, setelah bapak sholat jum’at. Bapak mengantarku sampai
ke kota, menuju PO membeli tiket jurusan lampung-jogja. Setelah itu tugas bapak
seakan selesai, kemudian hanya melihat dan merelakan anak putrinya yang keras
kepala ini pergi ke seberang.
Di terminal Jogja, Mas
Yoga sudah menunggu sejam yang lalu. Dia adalah tetanggaku di kampung, orang
yang menjadi pengaruh besar kenapa aku bisa di Jogja saat ini. Dia tinggal tiga
tahun lebih awal dariku. Sudah semester tujuh sekarang.
Beberapa hari di Jogja,
di tengah-tengah calon mahasiswa lain, tepat di kampus satu, lantai satu,
samping tangga di bangku nomor satu, aku dan Mas Yoga melihat-lihat deretan
Prodi di belakang brosur Universitas yang aku tuju.
“Gimana mas? Yang
pendidikan mahal banget”, kataku ketika melihat satu prodi pendidikan bahasa
inggris dan deretan yang di depannya memiliki embel-embel pendidikannya,
terlihat angka enam sampai tujuh diikuti angka nol enam kali. Kecewa. Kenapa
berbeda dengan yang diceritakan Mas Yoga di telfon kemarin?
“Saiki ngene wae3
ver.”kata yoga padaku, “kamu sekarang bayar gede4, tahun berikutnya kamu bakal
bayar lebih kecil, seterusnya sampai kamu lulus. Dan prospek ke depan kamu juga
bagus. Inget tahun 2015 nanti ada pensiun besar-besaran lho?”Yoga menjelaskan
panjang lebar meyakinkanku. Tatapannya penuh harap.
Aku hanya diam,
memikirkan orang tuaku, mampukah? Sedangkan mereka di kampung hanya bergulat
dengan lumpur-lumpur, bermain dengan padi-padi, sampai panen tiba. Butuh
berbulan-bulan untuk memperoleh uang satu juta saja.
Lalu aku melihat deret
yang berbau Religi, sastra arab? atau tafsir hadits? kelihatannya sangat murah,
hanya 1,9 juta. Tapi kurasa kurang cocok denganku, bayanganku adalah seorang
ulama. Lalu kulihat angka-angka yang paling kecil lagi. Ow, ada sastra
Indonesia, hanya 2,2 juta. Tapi Mas Yoga terus mendesakku untuk mengambil
jurusan pendidikan agar aku tidak menyesal nantinya. Dan akhirnya aku mengambil
prodi Pendidikan Bahasa Inggris dan diterima.
Aku menelpon mamak lagi
dan menjelaskan biaya-biaya perkuliahan dimasing-masing prodi yang menjadi
sasaranku “kalau Bahasa Inggris tujuh juta Bu, kalau BK enam juta tapi
sebenarnya ada yang murah, Sastra Indonesia cuma dua koma dua juta”.
“Yo wis5 Nduk, kamu
tahu kan kemampuan mamakmu ini? kamu mau mamak gak makan karena cuma buat
kuliahin kamu?”, kata Ibu, tapi tetap aku rasakan suara kesabarannya.
“Pokoknya aku nggak mau
tau mak, aku udah diterima di Pendidikan, prospeknya lebih besar ini”. Mamak
menutup telepon sepertinya disertai rasa kesal.
Aku tetap pada
pendirianku.
Satu hari, satu minggu,
satu bulan, satu tahun hingga akhirnya empat tahun aku jalani, aku hampir
selesai membuat skripsi. Memang terkesan aku selalu memaksa ketika harus
membayar uang semester yang biayanya lima kali penghasilan orang tuaku setiap
panen tiba . Aku tidak peduli yang penting kemauanku dituruti.
***
Akhirnya sampai juga
yang paling aku tunggu-tunggu, bulan depan aku wisuda, aku akan jemput mamak
untuk menghadiri hari yang sudah sejak lama aku nantikan.
Aku sudah tidak sabar
ingin bertemu mamak, aku ingin cepat-cepat beri tahu mamak bahwa perjuangan
mamak menguliahkanku selama ini tidak sia-sia. Aku lulus cumlaude. Aku yakin
mamak pasti bangga dan bahagia mendengar ini.
Sampai juga aku di
kampungku, tak banyak yang berubah, hanya beberapa saja yang sedikit berbeda.
Terlihat beberapa rumah yang arsitekturnya berubah. Sedikit menyesal dengan
perubahan itu, ada kerinduan mendalam di sana. Kenapa harus berubah.
Aku masih di dalam
travel, menyusuri jalan yang sangat tidak asing bagiku. Seperti kembali ke masa
lalu.
Tapi aku lihat
orang-orang berjalan kearah barat, sama seperti laju travel yang aku tumpangi.
Tapi, mendung. Terasa padam. Ku lihat beberapa orang yang aku kenal. Mbak Dewi.
Miris melihat matanya bengab, seperti habis menangis berhari-hari.
Semakin dekat dengan
arah tujuanku pulang, semakin rapat rumunan orang-orang. Hatiku gelisah, resah,
seperti teremas remas melihat padamnya siang di kampungku ini. Oh Tuhan, ada
apa? Kerumunan itu berpusat di rumahku, di rumah berdinding setengah batu bata
merah setengah papan dari kayu jati, tidak berubah.
Aku segera turun namun
tidak bergegas lari. Semua orang-orang melihatku acuh, seperti tak ada
pentingnya dengan kepulanganku. Dari beberapa mereka aku melihat Siwo Mus. Aku
akan bertanya saja dengannya. Aku berlari kecil menuju tempat siwo duduk, di
samping rumahku, “Siwoo!” Panggilku langsung kudekap tubuhnya yang dua kali
ukuran tubuh mamak.
“Nduk kamu udah
pulang?” matanya sembab, suaranya bergetar.
“Ada apa wo, kenapa
ramai? tanpa basa-basi.
Tanpa menjawab, malah
tangisnya pecah. Aku lihat bapak berjalan tak jauh dariku, tatapannya seperti
penuh kebencian mendalam. Aku coba sunggingkan senyum, diam tak menggubrisku.
Berlalu tanpa menyapaku sedikitpun. Apa salahku? Sakit sekali rasanya.
Di dekat pohon beringin
depan rumah, ku lihat adik kecilku, Nduk Anik dipangku Bulek Nur, adik ipar
bapak, hatiku makin perih melihatnya menangis tak henti-henti.
Perlahan aku masuk di
sela-sela kerumunan. aku melihat ujang yang tertutup kain jarit, semakin aku
masuk, semakin terlihat jelas memenjang ujung yang aku lihat tadi. Lemas semua
badanku, tapi tak menyerah aku mendekati yang aku lihat tadi. Perlahan aku
dekati, perlahan aku buka kain jarit itu. Oh Tuhan…. “Mamak!” memekik tak
kuasa.
“Jangan tinggalin vera
mak!”. Hancur, semua terlintas mendesak-desak dalam di otakku, semua tentang
pengorbanan mamak, semua sakit hati mamak karna kerasnya hatiku, semua tantang
kesabarannya menghadapiku. Lalu semua hilang. Aku tak ingat apa-apa lagi.
***
Aku terbangun dari
tidurku, tubuhku gobios6 penuh dengan keringat, sesak ini masih terasa di dada.
Untung cuma mimpi.
Aku segera merapikan
tempat tidur dan bergegas mandi untuk bersiap-siap berangkat kuliah. Untung
saja tugas filologiku sudah kelar semalam. Ya, akhirnya aku masuk jurusan yang
lebih miring biayanya.
Hapeku bergetar, mamak.
“assalamu’alaikum, iya
mak”.
“wa’alaikumsalam Nduk,
piye7? Uangnya masih cukup nggak?” Tanya mamak, suaranya menentramkan hati.
Aku tersenyum bahagia,
aku masih bisa mendengar suara kesabarannya. Dan pastinya aku masih bisa
merasakan aroma kasihnya. “Masih mak.” aku ingin membuatnya merasa lebih ringan
bebannya.
Hatiku berbinar, aku
tidak salah menuruti kata mamak dulu, aku tidak ingin mimpiku barusan menjadi
kenyataan. Tidak mau, sama sekali tidak mau. Karna aku sayang sekali mereka.
No comments:
Post a Comment