BERBEDA
Labaran kali ini keceriaan tampak jelas di rona wajahku. Berkumpul
bersama keluarga. Tiga tahun di pondok membentuk karakterku lebih anggun dari
sebelumnya. Bapak mungkin bangga melihat anak laki-lakinya ini mengikuti jejak
kedua kakaknya, seorang penghafal Kalam Tuhan.
Dan yang paling membahagiaan adalah aku akan segera bertemu dengan Indah,
kekasih hati yang setia menungguku di kampung halaman. Aku tau dia akan senang
melihat aku yang sekarang, bukan lagi menjadi anak nakal seperti semasa sekolah
dulu.
“kakak, usia Indah sepertinya sudah layak untuk menikah,” ucapnya saat aku
temui selepas isya, saat takbir kembali dikumandangkan, bergema memenuhi udara.
Pancaran matanya tulus membuatku sulit menolak apa yang menjadi permintaannya
itu. Aku diam, hanya memberi sebingkis senyum untuk gadis berdarah pribumi ini.
Aku hanya ingin melepas rindu ini, bukan merelakan masa depan. Perasaan ini
tidak menentu, bayangan wajahnya yang lembut semakin membuatku tidak berani
memutuskan apa yang harus aku putuskan. Sisi hatiku yang lain meyakinkan aku
tidak boleh memutuskan rasa bangga bapak terhadapku. Tapi bagaimana jika Indah
lebih dulu dikhitbah seoarang selain aku? Betapa remuk hatiku.
Secepat kilat bapak telah mendapat kabar ini. Tanpa menungguku berfikir apa
yang harus aku lakukan terlebih dahulu.
Selepas maghrib bapak memintaku menemuinya di ruang tamu. Bapak sudah menunggu
sedari tadi, aku memposisikan diri di depan bapak berseberangan meja panjang
yang penuh dengan kue-kue lebaran. Wahibah, adikku meletakan secangkir kopi di
meja, tepat di depan tempat di mana bapak duduk. Kemudian kembali ke dapur,
membantu ibu.
Aku tahu, keadaan ini akan menjadi keadaan terburuk. Hatiku masih tidak
menentu. Memikirkan bagaimana aku harus menjawab pertanyaan bapak. Lalu
bagaimana aku harus menjawab permintaan Indah kemarin malam.
“Kenapa mau cari calon istri diam-diam sama Bapak?” bapak membuka pembicaraan.
Pertanyaan bapak seperti menohok di tenggorokan. Ngilu di dalam hati. Aku diam.
“Akan lebih baik jika keturunanmu sama dengan keluarga kita, sama dengan Si
Embah,” lanjut bapak menjelaskan apa yang diinginkan dari calon menantunya.
Keturunan.
Lagi-lagi aku diam, tapi hati ini berontak. Apa yang salah dengan keturunan?
Toh dia begitu baik segala-galanya, cantik wajahnya, baik akhlaknya, rajin
ibadahnya, lembut hatinya. Kenapa hanya karena dia pribumi membuat nilai yang
begitu indah didirinya tertutupi. Indah, seperti namamu, aku tidak akan bisa
meninggalkan gadis sesempurna itu.
Adzan isya memecah pikiranku. Bapak mengambil kopi di depannya, lalu meneguknya
dua tegukan. Meletakannya kembali. “Ke masjid le,”perintah bapak menutup
pembicaraan malam ini tanpa menunggu jawabanku atau memberiku sedikit
kesempatan untuk bicara. Ini tidak adil. Beliau beranjak keluar rumah menuju
masjid yang jaraknya hanya beberapa jengkal dari rumah.
Kata kata bapak yang terakhir sebenarnya adalah keputusan mutlak bahwa aku
harus menuruti apa yang menjadi keinginan bapak. Meninggalkan yang aku tunggu
bertahun tahun, yang telah terpupuk dalam di relung sana, dan meninggalkan
mimpi yang pernah dibangun bersama. Perih.
Semangat ini tak lagi menggebu-gebu seperti saat pertama tiba di sini. Kandas.
Hari hari di rumah menjadi terasa begitu hambar. Hingga akhirnya aku harus
kembali ke kediri tanpa semangat. Hilang. Hampa.
***
Pak supir menghentikan busnya di terminal Terboyo, Semarang. Butuh setengah
hari lagi untuk sampai di kediri. Aku masih duduk di kursi nomor dua tepat di
samping jendela, sengaja kupilih di dekat jendela agar bisa menikmati
pemandangan di luar, mengobati kejenuhan. Pikirankuku kosong. Semntara
orang-orang bergegas turun dari bus untuk sekedar mencari udara segar atau
mencari kamar mandi, atau mungkin memilih warung nasi untuk sekedar mengganjal
perut dan menghilangkan rasa mual. Beberapa orang mencari listrik untuk
mengecas hapenya.
Aku teringat bagaimana reaksi Indah saat aku berpamitan tanpa memberi jawaban
yang pasti padanya. Kecewa. Itu yang aku tangkap dari rautnya yang begitu
lembut. Maafkan aku Ndah, aku benar benar mencintaimu, tapi aku tidak bisa.
Mataku berkaca-kaca. Terasa pilu sekali di hati. Akhirnya tumpah juga segala
gundah di hatiku, menetes melewati pipiku, kemudian beberaopa saat jatuh satu
persatu di jaket biru pemberian ibu yang aku kenakan.
“Nggak turun Bang?” salah satu supir memecah lamunanku. Segera
ku usap air mataku.
“Owh, iya Pak, kamar mandi di mana ya?” basi- basi aku bertanya.
Aku tidak ingin dia melihatku menangis.
“Owh, di ujung sana, barat warung Pad**g kan ada musola, nah itu
belakangnya,” bapak itu menjelaskan sambil menunjuk ke arah warung Pad**g yang
berada di ujung terminal, mataku mengikuti.
“O.. iya Pak, makasih,” kataku semberi memberi senyum padanya,
kemudian segera keluar dari bus.
“Ya” bapak itu mengiyakan kemudian mengambil posisi paling
nyaman untuk tidur.
Setelah keluar dari kamar mandi aku mencari posisi paling nyaman
untuk beristirahat, setidaknya duduk sejenak merenggangkan otot kakiku yang
setelah delapan diperjalanan dalam posisi yang sama. Aku menuju musola,
mengambil posisi di teras musola, meletakan rangselku dan duduk di sebelahnya.
Pikiranku tentang Indah tak mau berhenti. Kembali bermunculan di setiap sudut
otakku.
Setelah beberapa saat terdengar pengumuman yang bunyinya bahwa
bus arah kediri akan segera berangkat, meminta para penumpang segera menaiki
bus. Entah kenapa tubuh ini tidak mau beranjak. Hati ini memintaku untuk tetap
disini. Bimbang. Bingung. Aku harus bagaimana? Aku tidak ingin kembali ke
kediri. Kalau aku ke kediri artinya aku melepaskan seseorang yang sangat aku
cintai untuk di khitbah orang lain. Tidak. Aku tidak ingin ini terjadi. Aku
akan kembali menjemput Indah di kampung.
Seorang dari mereka menghampiriku. “Mas, kita berangkat
sekarang,” aku terdiam, bingung. “Eh… kok malah diam, buruan!” katanya sedikit
mengeraskan suaranya.
“Saya berhenti di sini aja Pak?” kataku tanpa ku duga juga
akhirnya keluar dari mulutku. Apa-apaan ini? Aku sendiripun tidak mengerti
dengan keputusanku. Bimbang, bingung, dan di sinilah awal kisah panjangku…
Bersambung…